Cahaya Tertutup
Tulisan ini ditulis dalam rangka pemenuhan tugas ujian pada mata kuliah Asistensi Agama dan Etika Islam di Institut Teknologi Bandung. Penulis bukan seorang yang ahli di bidang ini dan terbuka untuk kritik, saran dan masukan.
…
Al Islamu Mahjubun bil Muslimin. Arti sederhananya, agama islam tertutupi oleh orang-orang muslim. Sekian lama nggak pernah denger kalimat itu, mentoring pertemuan kedua AAEI ITB kembali merecall kalimat itu dan sekali lagi diajak untuk berpikir dan merenung. Apa sih maksud ‘islam tertutupi sama pemeluknya’? dan masih relevankah pernyataan Syaih Muhammad Abduh–seorang ulama Mesir–ratusan tahun lalu itu saat ini? Mungkin dengan artian sederhana yang ditulis diawal belum cukup menggambarkan maksud kalimat tersebut. Maka kita pinjam kalimat yang digunakan Fahd Pahdepie–seorang penulis buku–dalam menjabarkan arti kalimat tersebut pada salah satu tulisannya di tahun 2017. “Keindahan Islam ditutupi oleh kaum muslim sendiri, atau cahaya Islam justru diredupkan oleh orang-orang yang memeluknya.” Keindahan islam, cahaya islam, ditutupi, diredupkan oleh ummatnya sendiri? Bagaimana bisa? Sebelum itu perlu ditelisik dulu, mengapa muncul kata ‘keindahan’ dan ‘cahaya islam’ pada artian tersebut.
Sekitar seribu empat ratusan tahun yang lalu, ada dua imperium besar yaitu, Romawi dan Persia. Kedua imperium ini berebut pengaruh untuk menguasai sebanyak-banyaknya wilayah. Wilayah atau kerajaan yang ada oleh mereka akan segera ditundukkan. Namun, peradaban yang ada di wilayah Arab pada saat itu–dimana leluhur dari seorang lelaki yang menjadi utusan Allah untuk menyebarkan Islam tinggal–tidak membuat kedua imperium itu tergerak untuk menaklukkannya. Mengapa? Karena menurut pandangan mereka, peradaban yang ada disana tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan yang bisa membahayakan mereka. Kehidupan antar suku yang penuh persaingan dan tak jarang berujung pada pertikaian saudara, kehidupan sosial yang tidak teratur, dan masih banyak keburukan yang ada. Bukan berlebihan jika pada masa itu disebut “zaman kebodohan”.
Suatu hal yang menarik ketika kejayaan imperium besar yang kokoh berdiri selama ratusan tahun bisa tunduk pada perabadan yang baru seumur jagung. Benarkah seperti itu bisa terjadi? Bisa, dan begitulah yang terjadi pada ‘peradaban baru’ yang muncul di wilayah Arab terhadap imperium Romawi dan Persia. Maka penggerak peradaban baru tersebut pasti bukan hal yang biasa. Maka motivasi yang dimiliki, pembelajaran yang dilakui, dan latihan yang dijalani para pejuang peradaban tersebut pasti hal yang di luar nalar manusia. Begitulah Islam datang dengan ajarannya. Mengubah suatu peradaban ‘’bodoh’’ tanpa aturan menjadi peradaban dengan ajaran yang penuh keindahan dan keteraturan. Dengan memegang teguh ajarannya menjadi bekal suatu dinasti–di ratusan tahun setelah wafatnya sang pembawa ajaran–menjalani era keemasan di saat sisi lain dunia menjadi era kegelapan. Maka itulah rekam jejak agama islam. Begitulah hakikat dari agama islam. Mengangkat derajat pemeluknya dengan ‘’keindahan’’ dan ‘’cahaya’’. Dan seorang ulama tsiqoh Syaikh Muhammad Abduh tak menemukan hal yang sama pada pemeluk agama yang sama di zaman ia hidup. Apakah kita menemukan hal yang sama seperti itu di zaman kita ini?
Ketika kita mengamalkan dengan benar apa saja yang ada pada ajaran islam. Kita pasti menemukan bahwa islam sangat detail mengatur segala urusan ummatnya. Tidak hanya sebatas tata cara hidup sehari-hari yang bersifat teknis, islam bahkan juga mengatur hingga ranah ekonomi, pendidikan, bahkan “politik” yang tidak ada satupun kepercayaan atau agama yang mengatur hal tersebut kecuali islam. Ketika kita dengan baik mengamalkan dan setiap orang bekerja sama mewujudkan maka seluruh permasalahan yang ada akan teratasi dengan izin Allah. Bisakah kita kembalikan “keindahan” dan “cahaya” yang saat ini tertutupi itu menjadi terbuka dan tersebar luas? Bisa. Saat ini yang bis akita lakukan adalah belajar lagi lebih dalam tentang islam, berusaha menjalankan ajaran yang ada dengan menyeluruh dan yang lebih utama, sebarkan, sampaikan ajaran islam ini ke lebih banyak orang dengan cara sebagaimana Rasulullah dan para sahabat ajarkan dalam menyebarkannya. “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu” (QS. Ali Imron:159). “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125)
Sejak mulai mendapat pemahaman yang baik tentang islam, tertanam mindset bahwa islam adalah sesuatu yang mulia. Sesuatu yang mulia pantas untuk ditinggikan. Maka pada hal-hal kecil di kehidupan seperti nilai ujian, perlombaan, penulis sering merasa tergugah untuk bisa mengungguli para selain pemeluk islam. Tentu bukan hanya sekedar mengungguli saja, namun diiringi dengan etika dan perilaku yang benar-benar mencerminkan islam. Hal ini bisa menjadi ladang dakwah kita pada orang lain. Sekaligus perlahan mulai mengangkat tirai ‘hijab’ yang menutupi cahaya islam, agar bisa tersebar dengan luas dan memberi manfaat sesuai kodrat adanya.
“Al islamu ya’lu wa laa yu’la alaihi.” Agama islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.